Jumat, 14 Oktober 2011

PROBLEMATIKA MENYIKAPI QUR'AN

Di tengah masyarakat, salah satu indikator kesalehan seorang muslim adalah rajin membaca (tilawah) Al-Qur’an. Surah dan ayat tertentu dari Al-Qur’an sering bergema dalam berbagai acara ‘hajatan’ baik itu walimatul ‘urs, aqiqah anak yang baru dilahirkan, maulidan, berbagai peringatan hari besar Islam, bahkan hingga saat takziah dan ziarah kubur orang tua dan sanak kerabat. Tilawah Al-Qur’an, diiringi kesahduan dan suara merdu, dalam berbagai momen itu tentu saja baik dan membawa ‘keberkahan’. Tak ada yang salah dengan itu semua.

Namun di sisi lain kita saksikan dan rasakan sendiri betapa hak-hak Al-Qur’an diabaikan sedemikian rupa. Mayoritas kaum Muslimin tidak, setidaknya hingga saat ini, menjadikan Al-Qur’an sebagai penuntun pertama bagi akal mereka, tidak pula diletakkan sebagai pengarah pertama di dalam hati mereka, apalagi sebagai penggerak pertama bagi perilaku mereka dan faktor pengubah yang utama bagi jiwa-jiwa mereka.

Sejak era sahabat nabi radliyallahu ‘anhum, jamaah Muslimin sudah sadar bahwa barakah Al-Qur’an diraih bukan dengan cara membawa atau mengalungkannya, tidak pula dengan menghiasi dinding rumah mereka dengan ayat-ayatnya, tidak pula dengan pengobatan pasien lewat metode penyembuhan Al-Qur’an atau ditulis di piring yang kemudian terhapus dan airnya diminum, atau keanehan-keanehan lainnya yang tak pernah ditemukan dalam sejarah dan kehidupan para sahabat nabi.

Tapi keberkahan Al-Qur’an muncul dan mewujud di tengah-tengah mereka dengan cara mengikuti dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Inilah yang disebutkan dalam firman Allah ta’ala, 155,

"Dan Al-Qur'an itu adalah Kitab yang kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat," (Q.S. Al-An'am).

Di dunia ini, ada puluhan bahkan ratusan ribu para penghafal Al-Qur’an di luar kepala, ALHAMDULILLAH.

Selain itu ada ratusan juta manusia yang menyimak atau membacanya di pagi dan petang hari, dan ada jutaan orang lainnya yang menghiasi dinding rumahnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an, kita pun patut bersyukur.

Namun tak jarang sebagian kaum Muslimin sekedar mencari barakah dengan membawa atau mengantongi mushaf di saku bajunya atau meletakkannya di kendaraannya, atau meletakkan satu ayat di bungkusan kain dan meletakkannya di dada atau menjadikannya sebagai obat penawar bagi orang-orang sakit, dan di antara mereka membuka layanan pengobatan dengan metode penyembuhan Al-Qur’an.

Kita juga melihat orang-orang muslim mengawali siaran radio atau tv mereka dengan tilawah Al-Qur’an dan mengakhirinya dengan cara yang sama. Bahkan ada radio siaran khusus Al-Qur’an 24 jam nonstop.

Sejak era sahabat nabi radliyallahu ‘anhum, jamaah Muslimin sudah sadar bahwa barakah Al-Qur’an diraih bukan dengan cara membawa atau mengalungkannya, tidak pula dengan menghiasi dinding rumah mereka dengan ayat-ayatnya, tidak pula dengan pengobatan pasien lewat metode penyembuhan Al-Qur’an atau ditulis di piring yang kemudian terhapus dan airnya diminum, atau keanehan-keanehan lainnya yang tak pernah ditemukan dalam sejarah dan kehidupan para sahabat nabi.

Tapi keberkahan Al-Qur’an muncul dan mewujud di tengah-tengah mereka dengan cara mengikuti dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Inilah yang disebutkan dalam firman Allah ta’ala, 155,

"Dan Al-Qur'an itu adalah Kitab yang kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat," (Q.S. Al-An'am).

Konsep agama Islam pun telah berubah; terbatas pada konteks ilmu dan budaya abad pertengahan, tergerus akibat globalisasi, Islam normatif-ideal hilang dan hanya tersisa Islam historis, nilai-nilai Islam tak lagi absolut, dan suatu kesalahan jika menganggapnya universal karena Islam hanya diperuntukkan bagi manusia abad ke-7 Masehi.

Dan terakhir, tak lain akan berujung kepada munculnya prototipe muslim dan keberagamaan Islam yang baru. Yaitu Islam minus syariah, Islam tanpa siyasah, Islam tanpa muamalat, Islam tanpa ruh, Islam tanpa busana, Islam tanpa pendidikan dan jihad, alias Islam minimalis yang cukup sekedar kerjakan salat, dan kalau bisa pun si muslim dijauhkan dari salat dan terasing dari konsep-konsep Islam sebagai agama dan peradaban.

Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda:

"Sepeninggalanku kelak, akan muncul suatu kaum yang pandai membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan mereka" (HR Muslim)

Oleh karenanya sebaiknyalah kita mempergunakan akal dalam makna hati untuk memahami Al Qur'an dan Hadits dengan selalu mengikuti cahayaNya yang masuk kedalam hati atau selalu mengikuti petunjukNya, apa yang diilhamkan kedalam hati dengan selalu memilih yang haq Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai"

(QS Al A'raaf [7]:179)
Oleh: Ust. Yusuf Mansur