Jumat, 18 Juli 2014

Wisata Watu G'edek

SYAIKH MUKHAMMAD DIMYATI BIN SYAIK MUKHAMMAD AMIN (B A N T E N)

Syaikh Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin

(B A N T E N)

من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم ومن أرادهما فعليه بالعلم
“Barang siapa yang menginginkan dunia, hendaknya ia menguasai ilmu; barang siapa yang menginginkan akhirat ,hendaknya ia menguasai ilmu;dan barang siapa yang m...enginginkan keduanya, hendaknya ia menguasai ilmu juga.” (al-Hadis)

KH. Muhammad Dimyathi yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyathi atau Mbah Dim merupakan sosok Ulama Banten yang memiliki karismatik nan bersahaja. Beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mullai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia. Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.

Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengkategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadist nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai.Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis.

Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.

Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenal sebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.

Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab.
Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.

Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.

Bagi Abuya hidup adalah ibadah.
Tidak salah kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.

Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.

Dipenjara

Mbah Dalhar Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.

Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.

Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.” Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji,

Capy Makalah dari Akhinal Karim Ust. Taufik Rahman


SIAPAKAH SYEH SITI JENAR ?...

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. Kesultanan Malaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani.

Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya

2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,

3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara

4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….

2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.

5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama.” Tidak bisa diterima akal sehat.

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1. Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2. Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3. Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]

Wahai kaum muslimin...melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati....jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.

Sumber makalah: http://ktb-piss.blogspot.com/2011/07/artikel-benarkah-syekh-siti-jenar-ulama.html
Sumber foto: https://farm6.staticflickr.com/5251/5404317130_830b555d72_z.jpg
Copy Artikel dari Akhinal Karim Ust. Taufik Rahman

Rabu, 02 Juli 2014

Ungkapan Cinta dan Do'a

Dalam cinta ada kepercayaan...
Saling mengingtkan...!
Menjaga kebutuhan...!
Dan doa untuk terjaga dari segala godaan.

Cinta adalah anugrah Alloh yang indah
Bagi insan yang pandai mensyukuri dan menghargai.

Ya Alloh...Ya Robbal Alamin...
Semikanlah cinta dihati kami.
Hanya untuk pasangan yang engkau ridoi.

Jagalah kami dari segala fitnah, godaan dan gangguan.
Ternaungi dari dusta dan kecurangan.
Tidak hanya dalam keindahan dunia.
Juga dalam kedamaian surgawi.
Amiin...!