Kamis, 30 November 2017

KEUTAMAAN MAULID NABI BUHAMMAD SAW

Keutamaan Maulid Nabi

KEUTAMAAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW
Di dalam kitab “An-Ni’matul Kubra ‘alal ‘Alami fi Maulidi Sayyidi Waladi Adam” halaman 5-7, karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami (909-974 H. / 1503-1566 M.), cetakan “Maktabah al-Haqiqat” Istambul Turki, diterangkan tentang keutamaan-keutamaan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW.

1. Sayyidina Abu Bakar RA. berkata:

من أنفق درهما على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم كان رفيقي في الجنة

Barangsiapa membelanjakan satu  dirham untuk mengadakan pembacaan Maulid Nabi SAW, maka ia akan menjadi temanku di surga

2. Berkata Sayyidina Umar RA.

من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحيا الإسلام

“Barangsiapa mengagungkan Maulid Nabi SAW, maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam.”

3. Berkata Sayyidina Utsman RA.:

من أنفق درهما على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم فكأنما شهد غزوة بدر وحنين

“Barangsiapa membelanjakan satu dirham untuk mengadakan pembacaan Maulid Nabi SAW, maka seakan-akan ia ikut-serta menyaksikan perang Badar dan Hunain.”

4. Sayyidina Ali RA. berkata:

من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم وكان سببا لقراءته لا يخرج من الدنيا إلا بالإيمان ويدخل الجنة بغير حساب

“Barangsiapa mengagungkan Maulid Nabi SAW, dan ia menjadi sebab dilaksanakannya pembacaan maulid Nabi, maka tidaklah ia keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab.”

5. Imam Hasan Bashri RA. berkata:

وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا فأنفقته على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم

“Aku senang sekali seandainya aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk kepentingan memperingati maulid Nabi SAW.”

6. Imam Junaed al-Baghdadi, semoga Allah membersihkan sir (rahasia)-nya, berkata:

من حضر مولد النبي صلى الله عليه وسلم وعظم قدره فقد فاز بالإيمان

“Barangsiapa menghadiri peringatan Maulid Nabi SAW dan mengagungkan derajat beliau, maka sesungguhnya ia akan memperoleh kebahagian dengan penuh keimanan.”

7. Imam Ma’ruf al-Karkhi, semoga Allah membersihkan sir (rahasia)-nya:

من هيأ طعاما لأجل قراءة مولد النبي صلى الله عليه و سلم و جمع اخوانا و أوقد سراجا و لبس جديدا و تبخر و تعطر تعظيما لمولد النبي صلى الله عليه و سلم حشره الله يوم القيامة مع الفرقة الأولى من النبيين و كان فى أعلى عليين

“Barangsiapa menyediakan makanan untuk pembacaan Maulid Nabi SAW, mengumpulkan saudara-saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian yang baru, memasang harum-haruman dan memakai wangi-wangian karena mengagungkan kelahiran Nabi SAW, niscaya Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama golongan orang-orang yang pertama di kalangan para nabi dan dia akan ditempatkan di syurga yang paling atas (‘Illiyyin).”

8. Imam Fakhruddin ar-Razi berkata:

: ما من شخص قرأ مولد النبي صلى الله عليه وسلم على ملح أو بر أو شيئ أخر من المأكولات الا ظهرت فيه البركة و فى كل شيئ وصل اليه من ذلك المأكول فانه يضطرب و لا يستقر حتى يغفر الله لأكله وان قرئ مولد النبي صلى الله عليه وسلم على ماء فمن شرب من ذلك الماء دخل قلبه ألف نور و رحمة و خرج منه ألف غل و علة و لا يموت ذلك القلب يوم تموت القلوب . و من قرأ مولد النبي صلى الله عليه وسلم على دراهم مسكوكة فضة كانت أو ذهبا و خلط تلك الدراهم بغيرها و قعت فيها البركة و لا يفتقر صاحبها و لا تفرغ يده ببركة النبي صلى الله عليه و سلم

“Tidaklah seseorang yang membaca maulid Nabi saw. ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan tampak keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka akan bergoncang dan tidak akan tetap sehingga Allah akan mengampuni orang yang memakannya.

Dan sekirannya dibacakan maulid Nabi saw. ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki dan penyakit dan tidak akan mati hati tersebut pada hari dimatikannya hati-hati itu.

Dan barangsiapa yang membaca maulid Nabi saw. pada suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas dan dicampurkan dirham tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas dirham tersebut keberkahan dan pemiliknya tidak akan fakir serta tidak akan kosong tangannya dengan keberkahan Nabi saw.”

9. Imam Syafi’i, semoga Allah merahmatinya, berkata:

من جمع لمولد النبي صلى الله عليه وسلم إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءته بعثه الله يوم القيامة مع الصادقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم

“Barangsiapa mengumpulkan saudara-saudaranya untuk mengadakan Maulid Nabi, kemudian menyediakan makanan dan tempat serta melakukan kebaikan untuk mereka, dan dia menjadi sebab atas dibacakannya Maulid Nabi SAW, maka Allah akan membangkitkan dia bersama-sama golongan shiddiqin (orang-orang yang benar), syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan shalihin (orang-orang yang shaleh) dan dia akan dimasukkan ke dalam surga-surga Na’im.”

10. Imam Sirri Saqathi, semoga Allah membersihkan sir (bathin)-nya:

من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد قصد روضة من رياض الجنة لأنه ما قصد ذلك الموضع الا لمحبة النبي صلى الله عليه و سلم . وقد قال صلى الله عليه و سلم : من أحبني كان معي فى الجنة

“Barangsiapa pergi ke suatu tempat yang dibacakan di dalamnya maulid Nabi saw, maka sesungguhnya ia telah pergi ke sebuah taman dari taman-taman syurga, karena tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut melainkan karena cintanya kepada Nabi saw. Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mencintaiku, maka ia akan bersamaku di dalam syurga.”

11. Imam Jalaluddin as-Suyuthi berkata:

مامن بيت أو مسجد أو محلة قرئ فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم إلا حفت الملائكة ذلك البيت أو المسجد أو المحلة وصلت الملائكة على أهل ذلك المكان وعمهم الله تعالى بالرحمة والرضوان.
وأما المطوفون بالنور يعنى جبريل و ميكائيل و اسرافيل و عزرائيل عليهم الصلاة و السلام فانهم يصلون على من كان سببا لقراءة النبي صلى الله عليه و سلم. و قال أيضا: ما من مسلم قرأ فى بيته مولد النبي صلى الله عليه و سلم الا رفع الله سبحانه و تعالى القحط والوباء والحرق والغرق والأفات والبليات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص من أهل ذلك البيت فاذا مات هون الله عليه جواب منكر ونكير ويكون فى مقعد صدق عند مليك مقتدر. فمن أراد تعظيم مولد النبي صلى الله عليه وسلم يكفيه هذا القدر. ومن لم يكن عنده تعظيم مولد النبي صلى الله عليه وسلم لو ملأت له الدنيا فى مدحه لم يحرك قلبه فى المحبة له صلى الله عليه وسلم.

“Tidak ada rumah atau masjid atau tempat yg di dalamnya dibacakan maulid Nabi SAW melainkan malaikat akan mengelilingi rumah atau masjid atau tempat itu, mereka akan memintakan ampunan untuk penghuni tempat itu, dan Allah akan melimpahkan rahmat dan keridhaan-Nya kepada mereka.”

Adapun para malaikat yang dikelilingi dengan cahaya adalah malaikat Jibril, Mika’il, Israfil, dan Izra’il as. Karena, sesungguhnya mereka memintakan ampunan kepada Allah swt untuk mereka yang menjadi sebab dibacakannya pembacaan maulid Nabi saw. Dan, dia berkata pula: Tidak ada seorang muslimpun yang dibacakan di dalam rumahnya pembacaan maulid Nabi saw melainkan Allah swt menghilangkan kelaparan, wabah penyakit, kebakaran, tenggelam, bencana, malapetaka, kebencian, hasud, keburukan makhluk, dan pencuri dari penghuni rumah itu. Dan, apabila ia meninggal, maka Allah akan memudahkan jawabannya dari pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir dan dia akan berada di tempat duduknya yang benar di sisi penguasa yang berkuasa. Dan, barangsiapa ingin mengagungkan maulid Nabi saw, maka Allah akan mencukupkan derajat ini kepadanya. Dan, barangsiapa di sisinya tidak ada pengagungan terhadap maulid Nabi saw, seandainya penuh baginya dunia di dalam memuji kepadanya, maka Allah tidak akan menggerakkan hatinya di dalam kecintaannya terhadap Nabi saw.

ZIARAH KUBUR

Karya al Imam al Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Ali; yang lebih dikenal dengan al Khathib al Baghdadi  (w 463 H)
 
--- dengan sanadnya ----  berkata: Aku mendengar Imam asy Syafi’i berkata: Sesungguhnya saya benar-benar melakukan tabarruk (mencari berkah) kepada Imam Abu Hanifah, aku mendatangi makamnya setiap hari untuk ziarah, jika ada suatu masalah yang menimpaku maka aku shalat dua raka’at dan aku mendatangi makam Imam Abu Hanifah, aku meminta kepada Allah agar terselesaikan urusanku di samping makam beliau, hingga tidak jauh setelah itu maka keinginanku telah dikabulkan”.

Adapun Dalil-dalil tentang ziarah kubur
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
Artinya :    Rasulallah s.a.w bersabda: Dahulu aku telah melarang kalian berziarah ke kubur. Namun sekarang, berziarahlah kalian ke sana. (H.R. Muslim)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ أَنْ أَسْتَغْفِر لأُمِّيْ ، فَلَمْ يَأذَنْ لِيْ ، وَاسْتأذَنْتُهُ أنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِيْ
Artinya:    Dari Abu Hurairah r.a. Berkata, Rasulallah s.a.w. bersabda: Aku meminta ijin kepada Allah untuk memintakan ampunan bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengijinkan. Kemudian aku meminta ijin kepada Allah untuk berziarah ke makam ibuku, lalu Allah mengijinkanku. (H.R. Muslim)

وَفِى رِوَايَةٍ أُخْرَى : زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَبْرَ اُمِّهِ, فَبَكَي وَاَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ (اَخْرَجَهُ مُسْلِمْ وَاْلحَكِيْم
Artinya :    Dalam riwayat yang lain dari Abu Hurairah bahwa : Nabi s.a.w. ziarah ke makam ibunya kemudian menangis lalu menangislah orang-orang sekitarnya. (H.R. Muslim [hadits ke 2256], dan al-Hakim [hadits ke 1390]).

Jadi dengan demikian, menangis di dekat kubur tidaklah berimplikasi pada kekafiran, begitu juga tidak mendatangkan siksa bagi mayit yang ditangisi.
Adapun Pendapat para ulama’ tentang ziarah kubur diantaranya:
1.    Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni” menceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya pendapatnya tentang masalah ziarah kubur, manakah yang lebih utama antara ziarah kubur ataukah meninggalkannya. Beliau Imam Ahmad kemudian menjawab, bahwa ziarah kubur itu lebih utama.
2.    Imam Nawawi
Imam Nawawi secara konsisten berpendapat dengan hukum sunahnya ziarah kubur. Imam Nawawi juga menjelaskan tentang adanya ijma’ dari kalangan ashabus Syafi’i (para pengikut Imam Syafi’i) tentang sunahnya ziarah kubur.
3.    Doktor Said Ramadlan al-Buthi
Doktor Said Ramadhan al-Buthi juga berbendapat dengan pendapat yang memperbolehkan ziarah kubur. Al-Buthi berkata, “Belakangan ini banyak dari kalangan umat Islam yang mengingkari sampainya pahala kepada mayit, dan menyepelekan permasalahan ziarah ke kubur.”

(Disarikan dari  buku Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, Penerbit LTM (Lembaga Ta”mir Masjid)PBNU.

DAHSYATNYA SURAT AL-IKHLAS

DAHSYATNYA SURAT AL- IKHLAS
Assalamu`allaikun
Wr Wb

{ Sempatkanlah sebentar untuk membaca tulisan ini }

Rasulullah Muhammad SAW pada suatu ketika bersabda :
”Demi Allah yang jiwaku di GenggamanNYA, sesungguhnya :

*QUL HUWALLAHU AHAD* itu tertulis di sayap Malaikat Jibril.

*ALLAHHUS SOMAD*  itu tertulis disayap Malaikat Mikail.

*LAMYALID WALAM YUULAD* tertulis
pada, sayap Malaikat Izra'il ,

*WALAM YAKULLAHU KUFUWAN AHAD*  tertulis pada sayap Malaikat Israfil "

Berkata Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: *Ketika saya {Rasulullah SAW} Isra’ ke langit, saya melihat Arasy di atas 360,000 pilar dan jarak jauh antara satu pilar ke satu pilar yang lain ialah 300,000 tahun perjalanan* . .

*Pada tiap-tiap pilar  itu terdapat padang pasir yang jumlahnya 12,000 dan luasnya setiap satu padang itu seluas dari Timur  hingga ke Barat* .

*Pada setiap padang itu terdapat 80,000 Malaikat yang mana kesemuanya membaca surat Al-Ikhlas* .

Setelah mereka selesai membaca Surah tersebut maka berkata mereka :

”Wahai Tuhan kami, sesungguhnya pahala dari bacaan ini kami berikan kepada orang yang membaca surah
Al-Ikhlas baik lelaki maupun perempuan.”.

Riwayat Anas bin Malik juga merekam kisah berkaitan surat Al-Ikhlas.

*Suatu ketika 70.000 Malaikat diutus datang kepada seorang sahabat di Madinah yang meninggal @ Kedatangan para Malaikat itu hingga meredupkan cahaya matahari. *70.000 Malaikat itu diutus hanya  karena almarhum sering membaca surat ini* .

Anas bin Malik yang saat itu bersama Nabi Muhammad SAW di Tabuk merasakan cahaya matahari redup tidak seperti biasanya dan Malaikat Jibril datang kepada  Nabi untuk memberitakan kejadian yang sedang terjadi di Madinah.

Rasulullah S.A.W bersabda :
Barangsiapa membaca surah Al-Ikhlas sewaktu sakit sehingga dia meninggal dunia, maka tubuhnya tidak akan membusuk didalam kuburnya, akan selamat dia dari kesempitan kuburnya dan para Malaikat akan  membawanya dengan sayap mereka melintasi Titian Siratul Mustaqim lalu menuju ke Surga. (HR Qurthuby).

*SUBHANALLAH* ..........
Jika Anda men- Share ini kepada 1 orang artinya Anda sudah menyebarkan 10 kebaikan di Akhirat.

Ya Allah, jadikanlah kami se keluarga sll membaca Surotul Al Ikhlas , mengucapkan " *SUBHANALLAH*
dan wafat dalam keadaan *HUSNUL KHATIMAH*
*Aamiin allahumma aamiin

ULAMA'DALAM JEBAKAN

ULAMA "DALAM JEBAKAN".
Oleh: Prof. Fahmi Amhar
......
Kini ulama adalah mahluk langka. Jarang anak kecil yang bercita-cita mau menjadi ulama. Orangtua pun kalau mengirim anaknya ke pesantren hanya agar anaknya menjadi salih, bukan menjadi ulama.

Di sisi lain, kalau kita memperkenalkan tokoh Indonesia ke orang Timur Tengah bahwa dia seorang ulama, orang Timur Tengah akan balik bertanya: Ulama di bidang apa? Apakah dalam ulumul Quran? Hadis? Fikih? Tarikh? Kalau kita tidak menjelaskan, mereka akan ragu, “Ulama apa itu? Ahli al-Quran bukan; ahli hadis bukan; ahli fikih bukan; ahli tarikh bukan. Jadi, ahli apa?”

Walhasil, kita tahu bahwa ulama saat ini sangat langka. Dari yang langka ini, lebih banyak ulama yang lemah daripada yang kuat. Yang lemah ini tidak menjadi inspirasi bagi umat, tidak memimpin umat keluar dari keterpurukannya, bahkan mereka tidak jarang justru menjadi bagian dari sistem yang menindas umat.

Apa sesungguhnya faktor-faktor yang membuat ulama yang langka ini semakin lemah? Secara umum ada tiga ”jebakan” bagi ulama. Pertama: jebakan pemikiran yang terjadi pada dirinya sendiri. Kedua: jebakan kultural yang “disiapkan” masyarakat. Ketiga: jebakan sistem yang direkayasa oleh para penguasa.
Agar dapat keluar dari jebakan ini, para ulama wajib memiliki kesadaran ideologis, di mana posisinya saat ini, agar dia tidak terjebak di salah satu atau ketiganya.

1. Jebakan Pemikiran.
Jebakan pemikiran adalah jebakan yang paling lembut sehingga yang terjebak tidak merasa dirinya terjebak. Jebakan pemikiran ini ada tiga macam. Pertama: sekularisasi. Sekularisasi adalah pemisahan agama dari kehidupan publik, yakni kehidupan tempat interaksi tak terbatas seluruh warga, baik Muslim maupun bukan, dalam segala aspek kehidupan: politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dll.

Pahit untuk mengakui, bahwa sebagian besar ulama kita sudah tersekularisasi di segala sisi. Mereka canggung berbicara masalah publik dari sisi Islam. Mereka membatasi diri untuk berbicara hanya saat ada persoalan moral seperti pornografi, miras, perjudian, pelacuran. Kalaupun mereka berbicara tentang terorisme, itu karena terorisme dikaitkan dengan ustad dan pesantren. Mereka juga hanya peka terhadap gerakan sesat (Ahmadiyah, shalat dwibahasa, dsb). Sebaliknya, mereka canggung untuk duduk bersama membahas pengaturan sumberdaya alam menurut Islam atau mengatasi krisis pangan menurut Islam; seakan-akan dalam masalah-masalah ini, Islam tidak mempunyai solusi.

Kalau berbicara tentang pendidikan Islam, yang terlintas hanya mata pelajaran agama di sekolah, atau pendidikan oleh yayasan Islam (termasuk pesantren). Jarang yang berpikir bahwa pendidikan Islam itu menyangkut segala segi, dari muatan kurikulumnya yang harus mengacu pada akidah Islam di segala pelajaran (termasuk bahasa, matematika, IPA, IPS) hingga bagaimana pendidikan itu bisa dibiayai sehingga semua warga bisa mendapatkan akses pendidikan bermutu yang terjangkau.
Kedua: dakwah ishlâhiyah dan khayriyah. Sejak sekularisasi menjadi arus utama, Islam dipelajari hanya sebatas ajaran perbaikan individu atau keluarga. Dakwah akhirnya hanya terfokus pada perubahan individual yang bersifat kebajikan (khayriyah). Topik yang dominan adalah fikih praktis (ibadah, tatacara makan/berpakaian, nikah, muamalah sehari-hari dan akhlak). Dakwah sudah dianggap sukses jika berhasil menjadikan seseorang rajin shalat atau perempuan mau berbusana Muslimah. Terkait dengan aktivitas masyarakat, dakwah ditekankan pada kepedulian sosial seperti sedekah, menyantuni anak yatim hingga mendirikan sekolah dan rumah sakit. Bagaimana memberikan solusi tuntas dan mendasar terhadap segala masalah umat (ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, perundang-undangan, dll), hal itu jarang dijadikan target.

Ketiga: pemikiran “asketis”. Derap kehidupan hedonis, apalagi yang dibawa Kapitalisme, membuat sebagian ulama bereaksi dengan hidup bak pertapa sufi (asketis). Dakwah mereka fokus pada aspek ruhiah (spiritual) dan mengajak masyarakat menjauhi dunia. Walhasil, pada saat mendengar nasihat mereka, orang bisa mengucurkan air mata. Namun, begitu keluar majelis, aktivitas dunianya tidak mengacu syariah, karena syariah itu sendiri tidak pernah dibahas. Orang diasumsikan otomatis jadi baik ketika pikirannya mengingat Allah. Padahal faktanya, amal seseorang bergantung pada pemahaman syar‘i yang dimilikinya. Ada pemilik bank yang tiap hari bergelimang riba, namun dia tidak merasa berdosa, karena sudah rajin tahajud dan puasa sunnah.

2. Jebakan Kultural.
Jebakan kultural atau budaya terjadi di—dan dilakukan oleh—masyarakat. Masyarakat menggunakan pengalamannya dalam berinteraksi dengan agama lain saat memahami Islam. Jebakan kultural ini dapat memaksa seorang ulama yang semula kuat karena ikhlas menjadi lemah karena bias. Ada tiga jebakan kultural:

Pertama: mitos ulama. Pada semua ajaran lain, keyakinan berasal dari mitos atau aksioma yang tidak rasional. Ketika beralih ke Islam, penganut mitos pun memandang akidah Islam sebagai mitos. Rasul saw. berubah dari sosok manusia teladan menjadi sosok keramat yang supranatural. Bahkan ulama tiba-tiba dianggap “orang suci” yang mustahil salah, seperti penganut Katolik memandang Paus. Belakangan muncul orang-orang yang memanfaatkan hal ini demi keuntungan pribadi. Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang awam dengan ayat al-Quran atau hadis yang diselewengkan. Lalu muncullah bid‘ah di mana-mana.

Di sisi lain, ulama dimitoskan dengan segala idealitas dalam pandangan awam, bukan pandangan syariah. Saat ulama itu melakukan hal yang dibenci awam (misalnya poligami), gelar “orang suci” tiba-tiba lenyap. Mereka tidak bisa menerima kenyataan, bahwa “ulama juga manusia”.

Kedua: mitos bahasa. Sebagai bahasa al-Quran, bahasa Arab adalah bahasa ilmu pengetahuan Islam. Namun, di masyarakat non-Arab, kini bahasa ini sudah menjadi “hak istimewa” selapis kecil ulama. Sekadar tulisan Arab saja kadang dianggap keramat dan mampu mengusir setan. Orang yang pintar membaca al-Quran langsung dipanggil ustadz. Yang fasih berbahasa Arab (baca kitab kuning) dijuluki ulama, tanpa melihat lagi pemahaman Islamnya.

Ketiga: mitos ijtihad. Pada zaman sekarang, ijtihad dimitoskan sama dengan berpendapat. Setiap orang akhirnya boleh berijtihad, sekalipun tanpa bekal memadai. Tidak aneh, muncullah fatwa-fatwa nyleneh. Namun, ini ditoleransi dengan dalil, bahwa ijtihad itu, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu pahala. Padahal yang terjadi kadang-kadang hanyalah adopsi terhadap paham sekular yang dilabeli Islam, yang jauh sekali dari kategori ijtihad.

3. Jebakan Sistem.
Para penguasa korup pada zaman manapun melihat para ulama sebagai orang-orang yang berpotensi menghalangi mereka. Karena itu, penguasa fâsid ini akan berupaya melemahkan para ulama, baik secara “legal” maupun “ilegal”. Yang legal ada tiga macam:

Pertama: depolitisasi. Ulama dimarjinalkan dari kancah politik dengan sekularisme. Ulama yang menolak sekularisme akan mundur dari arena; yang ada dalam sistem, mau tak mau, akan sama sekularnya. Contoh, pada masa lalu, ada UU yang mewajibkan asas tunggal bagi ormas dan parpol. Akibatnya, para ulama praktis kehilangan ‘rumah’, kecuali yang mau pindah ke ormas atau parpol pendukung penguasa. Meski berdalih akan “mengislamkan dari dalam”, yang terjadi justru sebaliknya.

Kedua: pragmatisme. Ulama dipojokkan untuk sekadar bertahan hidup dalam sistem. Sistem sekular menjamin pelaksanaan syariah di ranah pribadi. Pembangunan masjid dibantu. Dakwah khayriyah dipromosikan. Zakat dan haji dilayani pemerintah. Ulama yang terpojok akhirnya mengambil sikap, “Inilah yang masih bisa kita kerjakan.” Mereka akhirnya diam terhadap urusan publik yang masih diatur sistem kufur. Padahal kezaliman pada urusan ini (misalnya mahalnya BBM) melanda semua orang; Muslim atau bukan; apakah mereka tahu masalahnya atau tidak. Dakwah pun kemudian tak lagi untuk meluruskan penguasa yang bengkok, yang oleh Nabi saw. disebut sebagai afdhal al-jihâd (jihad paling utama), namun ”yang penting aman”.

Ketiga: Godaan 3-TA. Yang paling vulgar adalah pelemahan ulama dengan harta, tahta dan wanita. Ulama yang kesulitan finansial dibantu, pondoknya dibangun, santrinya diberi beasiswa, dan dakwahnya makin bernilai bisnis. Ada juga ulama yang dilamar jabatan, dari legislatif lokal hingga calon wapres. Yang terheboh tentu saja yang ditawari wanita. Namun, semua ada kompensasinya. Yang jelas kepekaan, sikap dan pengaruh politik yang bersangkutan bisa tergadai, atau setidaknya dia akan sibuk dengan 3-TA itu. Akibatnya, kinerja keulamaannya turun, atau bahkan dilupakan. Telah banyak pesantren yang hancur karena ditinggal pemimpinnya yang menjadi “selebritis” atau politisi di Senayan.

Adapun jebakan yang ilegal amat bergantung pada sikap penguasa. Kalau dia santun, ini tidak dilakukan. Dia mencukupkan diri dengan yang legal. Namun, penguasa zalim akan menempuh segala cara.

Pertama: pecah-belah. Adu domba ini tidak jarang dengan penyusupan intelijen. Fitnah dimunculkan: yang satu mencurigai yang lain; menuduh pihak lain sesat, ahli bid‘ah, dll. Akibatnya, ukhuwah islamiyah terputus.

Kedua: stigma negatif. Penguasa memberikan citra negatif seperti radikal, ekstremis dan teroris kepada ulama sehingga yang bersangkutan dijauhi masyarakat. Stigma ini umumnya ditujukan kepada ulama-ulama yang sederhana. Kadang-kadang jamaahnya dipancing untuk melakukan kekerasan, kemudian dimanfaatkan untuk mempertegas stigma yang diberikan.

Ketiga: siksaan dan penjara. Ini adalah cara terakhir untuk membungkam ulama. Namun, tren di negeri-negeri Muslim sekarang, ulama yang pernah disiksa atau dipenjara justru makin karismatik. Ini tidak disukai penguasa. Karena itu, direkayasalah seakan-akan sang ulama melakukan kriminalitas seperti menyimpan narkoba, melakukan kejahatan seksual atau pemalsuan dokumen; sebagaimana yang pernah divoniskan kepada Ustad Abu Bakar Baasyir.

Khatimah
Menyatakan seseorang atau sekelompok ulama telah terkena jebakan-jebakan di atas bisa menyulut emosi orang-orang yang merasa selama ini ikhlas berjuang dan berkonstribusi bagi umat. Mereka merasakan pahit-getirnya perjalanan dakwah. Sebagian bahkan telah menghabiskan usianya di penjara.
Semua itu tidak kita nafikan. Dengan menunjukkan jebakan-jebakan itu, kita tidak sedang menghakimi para ulama pada masa lalu, namun agar pada masa depan tidak ada dari kita yang kena sindiran Rasulullah saw.: Seorang Muslim tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.

_Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb_
Fitnah Istri, Anak-Anak dan Harta Benda (Tadabbur Surah At-Taghaabun Ayat 14-18)

Sep9 by sepdhani

Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Al-Qur’an memperingatkan adanya fitnah istri, anak-anak dan harta benda yang bisa menjadi sebab kelalaian dalam mewujudkan ketaatan, dan terkadang menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Sangat sesuai dengan konteks ini bila Allah memerintahkan ketakwaan dan infak di jalan Allah, sebab tindakan tersebut menjadi modal manusia dan jalan untuk membahagiakan dirinya di dunia dan akhirat, Setiap penyakit memiliki obatnya, sedangkan obat bagi penyimpangan adalah bersegera mewujudkan sikap istiqamah dan menetapi jalan lurus amal dan ketaatan. Sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٤) إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (١٥) فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٦) إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ (١٧) عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu, dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu, dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun. Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taghaabun: 14-18).


Penjelasan (Tafsir)

Tirmidzi, Hakim dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ayat ini, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu.” Turun terkait segolongan penduduk Mekah yang masuk Islam, namun istri dan anak-anak mereka tidak bersedia mereka tinggalkan (untuk berhijrah). Akhirnya mereka sampai ke Madinah. Tatkala mereka menghadap Rasulullah saw., mereka melihat orang-orang (kaum muslimin) telah dipahamkan (dalam urusan agama). Maka mereka bertekad untuk menghukum istri dan anak-anak mereka. Lalu Allah menurunkan ayat, “ dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka)” hingga akhir ayat.

Artinya, sebab turunnya ayat ini adalah bahwasanya segolongan orang beriman kepada Allah, tetapi istri dan anak-anak mereka menahan langkah mereka untuk berhijrah, merekapun tidak berhijrah kecuali setelah sekian waktu berselang. Di Madinah mereka mendapati kaum muslimin selain mereka telah mendalam pemahamannya tentang agama, maka mereka menyesal dan merasa rugi, mereka hendak menghukum istri dan anak-anak.

Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya sebagian istri dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kaliän, permusuhan dalam urusan akhirat, terkait sesuatu yang tidak bermanfaat bagi kalian. Mereka menyibukkan kalian dari kebaikan dan amal saleh yang berguna bagi kalian di akhirat. Maka waspadalah agar cinta dan kasih sayang kalian kepada mereka tidak mempengaruhi ketaatan kalian kepada Allah SWT. Kemudian Allah menganjurkan untuk memberi maaf kepada mereka.

Apabila kalian memaafkan dosa-dosa istri dan anak-anak kalian, kalian menyantuni mereka dengan tidak mencela mereka, kalian juga menutupi kesalahan mereka sebagai pengantar agar mereka meminta maaf atas kesalahan mereka, maka Allah Mahaluas ampunan-Nya terhadap dosa hamba-hamba-Nya, Maha menyeluruh rahmat-Nya bagi mereka, Dia memperlakukan manusia dengan perlakuan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.

Kemudian Allah memberitahukan bahwa harta benda dan anak-anak adalah fitnah, yakni media ujian dan cobaan, yang menyibukkan seseorang dari medan petunjuknya, yang mendorongnya untuk lebih mendahulukan dunia daripada akhirat dan terjatuh ke dalam perkara yang tidak terpuji baginya. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda-seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam kitab musnadnya-,

اَلْوَلَدُ مَبْخْلَةٌ وَمَجْبَنَةٌ

“Anak adalah sesuatu yang menjadikan (orang tuanya) bakhil dan pengecut.”

Dan di sisi Allah terdapat pahala agung bagi orang yang lebih mendahulukan ketaatan kepada Allah dan dia tidak tenggelam di dalam kemaksiatan disebabkan kecintaan terhadap anak dan harta. Ini adalah anjuran untuk bersikap zuhud di dunia dan lebih mementingkan akhirat. Ahmad, Tirmidzi, Hakim, dan Thabrani meriwayatkan dari Ka’b bin Iyadh, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَإِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِيْ الْمَالُ

“Sesungguhnya masing-masing umat memiliki fitnah, dan sesungguhnya fitnah umatku adalah harta.”

Cara menghindarkan diri dari fitnah

Yaitu dengan ketakwaan dan ketaatan. Maka Allah SWT memerintahkan ketakwaan; yaitu komitmen untuk menunaikan perintah dan menjauhi larangan sesuai kadar kemampuan dan usaha. Allah juga menyuruh untuk mendengarkan perintah dan menaatinya, serta menginfakkan sebagian harta yang dikarunakan Allah kepada hamba pada jalur-jalur kebaikan. Firman Allah, “yang baik untuk dirimu,” manshub karena menjadi obyek firman Allah, “Dan infakkanlah.” Al-khair(kebaikan) di sini maksudnya adalah harta. Atau, ia adalah na’tun (sifat) untuk mashdaryang terhapus. Penjelasannya: infakkanlah dengan infak yang baik. Dan di dalam infak terdapat kebaikan bagi jiwa di dunia dan di akhirat.

Barangsiapa dilindungi dan dijaga oleh Allah dari penyakit kikir (sifat bakhil disertai ketamakan), sehingga ia berinfak di jalan Allah dan jalur-jalur kebaikan, maka merekalah orang-orang yang beruntung dengan mendapatkan segala apa yang mereka inginkan (di surga). Bukhari di dalam kitab Tarikh-nya dan Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah r. a. bahwasanya Nabi saw. bersabda,

شَرُّ مَا فِي رَجُلٍ: شُحٌّ هَالِعٌ، وَجُبْنٌ خَالِعٌ

“Seburuk-buruk apa yang ada pada diri seseorang: sifat kikir yang menggelisahkan dan sifat pengecut yang menelanjangi.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ketika ayat berikut turun, “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imraan: 102) terasa berat bagi orang-orang untuk mengamalkannya, mereka berdiri (untuk menunaikan shalat) hingga tumit mereka menjadi pegal dan kening mereka terluka. Lalu Allah menurunkan ayat sebagai keringanan bagi kaum muslimin, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”

Di dalam Ash-Shahihaini disebutkan sebuah hadits dari Abu Hurairah r. a. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ

“Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka tunaikanlah perintah itu sebatas kemampuan kalian, sedangkan apa yang aku larang dari kalian maka jauhilah.”

Kemudian Allah menegaskan perintah untuk berinfak dengan firman-Nya yang maknanya: Jika kalian bersedekah berupa sedekah yang baik dengan ikhlas dan kerelaan hati, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya untuk kalian dengan kelipatan yang banyak, Allah juga akan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah memberi balasan yang banyak atas perbuatan yang sedikit. Mahasempurna kesyukuran-Nya, artinya Dia membalas ketaatan yang sedikit dengan pahala yang banyak, dan Mahaluas kebijaksanaan-Nya, di mana Dia tidak menyegerakan hukuman atas kemaksiatan.

Firman Allah, “Maha Pembalas Jasa,”merupakan pemberitahuan tentang tindakan Allah yang memberi balasan atas sesuatu, dan bahwa Allah meringankan perkara-perkara besar dari siapa saja yang Dia kehendaki.

Kemudian Allah menambahkan anjuran untuk berinfak: bahwasanya Allah Maha menyeluruh pengetahuan-Nya terhadap apa yang tersembunyi dari kalian dan apa yang tampak nyata bagi kalian, Allah Mahaperkasa lagi Maha Menundukkan, Dia memiliki hikmah yang sempurna, Dia meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang shahih.

Bahwasanya peringatan terhadap fitnah harta dan ketergantungan dengannya, kemudian disampaikannya tiga penegasan untuk berinfak secara berturut-turut dengan gaya bahasa yang berbeda-beda, merupakan pelatihan untuk melepaskan jiwa dari penyakit bakhil dan mendorong jiwa agar menyimpan pahala infak pada jalur kebaikan dan kemaslahatan di sisi Allah, yang mana simpanan-simpanan di sisi-Nya tidak menjadi hilang.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’didalam tafsirnya atas ayat 14-18 tersebut, menjelaskan:

1.   Ayat-ayat di atas (QS. At-Taghaabun: 14-15) adalah peringatan dari Allah Ta’ala untuk orang-orang yang beriman agar tidak terpedaya oleh istri dan anak, karena sebagian dari mereka itu adalah musuh. Dan musuh itu (hakikatnya) adalah orang yang menghendaki kejelekan bagi kalian. Tugas kalian adalah bersikap waspada dari orang yang sifatnya seperti ini. Jiwa diciptakan dengan tabiat mencintai istri dan anak. Karena itu Allah Ta’ala memberikan nasihat untuk para hambaNya agar membatasi rasa cintanya yang tunduk pada kemauan istri dan anak itu, karena di dalamnya terdapat larangan syar’i.

Allah Ta’ala juga mendorong para hambaNya agar menunaikan perintah-perintahNya dan agar lebih mengedepankan ridhaNya, dan lebih mengutamakan akhirat daripada dunia yang fana dan akan lenyap ini. Mengingat larangan untuk menuruti kemauan istri dan anak yang bisa membawa dampak buruk dan peringatan dari hal itu mungkin disalahpahami sebagian orang yang memahami harus bersikap kasar terhadap istri dan anak dan menghukum mereka.Allah memerintahkan mereka agar waspada serta memaafkan mereka, karena dalam hal ini terdapat berbagai maslahat yang tidak terhitung jumlahnya.

Siapa pun yang menunaikan amalan-amalan yang disukai Allah Ta’ala dan menunaikan amalan-amalan yang disukai oleh sesama serta berguna bagi mereka, maka akan mendapatkan cinta Allah dan cinta hamba-hambaNya.

2.  Allah Ta’ala memerintahkan para hambaNya agar bertakwa padaNya, yaitu dengan menunaikan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Allah Ta’ala membatasi hal itu dengan kadar kemampuan dan kesanggupan. Ayat tersebut (QS. At-Taghaabun: 16) menunjukkan bahwa kewajiban yang tidak mampu dilakukan oleh seorang hamba menjadi gugur. Jika seorang hamba mampu menunaikan sebagian kewajiban dan tidak mampu menunaikan kewajiban lainnya, maka ia cukup menunaikan kewajiban yang mampu dia lakukan, sedangkan kewajiban lainnya yang tidak mampu dilakukan menjadi gugur.

3.   Allah Ta’ala memberi dorongan untuk berinfak (QS. At-Taghaabun: 17) seraya berfirman, “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik.” Pinjaman yang baik adalah semua nafkah yang berasal dari harta halal yang diberikan oleh seseorang karena mengharap bertemu dengan Allah dan mengalokasikannya pada tempatnya. Pahala nafkah adalah sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali dan bahkan sampai berlipat-lipat lagi. Kemudian Allah akan memberi ampunan dosa bagi kalian karena infak dan sedekah, karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu bisa menghapus kesalahan-ke salahan.

ANAK ADALAH FITNAH ALLOH SWT

Al-Qur’an memperingatkan adanya fitnah istri, anak-anak dan harta benda yang bisa menjadi sebab kelalaian dalam mewujudkan ketaatan, dan terkadang menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Sangat sesuai dengan konteks ini bila Allah memerintahkan ketakwaan dan infak di jalan Allah, sebab tindakan tersebut menjadi modal manusia dan jalan untuk membahagiakan dirinya di dunia dan akhirat, Setiap penyakit memiliki obatnya, sedangkan obat bagi penyimpangan adalah bersegera mewujudkan sikap istiqamah dan menetapi jalan lurus amal dan ketaatan. Sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٤) إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (١٥) فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٦) إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ (١٧) عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu, dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu, dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun. Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taghaabun: 14-18).


Penjelasan (Tafsir)

Tirmidzi, Hakim dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ayat ini, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu.” Turun terkait segolongan penduduk Mekah yang masuk Islam, namun istri dan anak-anak mereka tidak bersedia mereka tinggalkan (untuk berhijrah). Akhirnya mereka sampai ke Madinah. Tatkala mereka menghadap Rasulullah saw., mereka melihat orang-orang (kaum muslimin) telah dipahamkan (dalam urusan agama). Maka mereka bertekad untuk menghukum istri dan anak-anak mereka. Lalu Allah menurunkan ayat, “ dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka)” hingga akhir ayat.

Artinya, sebab turunnya ayat ini adalah bahwasanya segolongan orang beriman kepada Allah, tetapi istri dan anak-anak mereka menahan langkah mereka untuk berhijrah, merekapun tidak berhijrah kecuali setelah sekian waktu berselang. Di Madinah mereka mendapati kaum muslimin selain mereka telah mendalam pemahamannya tentang agama, maka mereka menyesal dan merasa rugi, mereka hendak menghukum istri dan anak-anak.

Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya sebagian istri dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kaliän, permusuhan dalam urusan akhirat, terkait sesuatu yang tidak bermanfaat bagi kalian. Mereka menyibukkan kalian dari kebaikan dan amal saleh yang berguna bagi kalian di akhirat. Maka waspadalah agar cinta dan kasih sayang kalian kepada mereka tidak mempengaruhi ketaatan kalian kepada Allah SWT. Kemudian Allah menganjurkan untuk memberi maaf kepada mereka.

Apabila kalian memaafkan dosa-dosa istri dan anak-anak kalian, kalian menyantuni mereka dengan tidak mencela mereka, kalian juga menutupi kesalahan mereka sebagai pengantar agar mereka meminta maaf atas kesalahan mereka, maka Allah Mahaluas ampunan-Nya terhadap dosa hamba-hamba-Nya, Maha menyeluruh rahmat-Nya bagi mereka, Dia memperlakukan manusia dengan perlakuan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.

Kemudian Allah memberitahukan bahwa harta benda dan anak-anak adalah fitnah, yakni media ujian dan cobaan, yang menyibukkan seseorang dari medan petunjuknya, yang mendorongnya untuk lebih mendahulukan dunia daripada akhirat dan terjatuh ke dalam perkara yang tidak terpuji baginya. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda-seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam kitab musnadnya-,

اَلْوَلَدُ مَبْخْلَةٌ وَمَجْبَنَةٌ

“Anak adalah sesuatu yang menjadikan (orang tuanya) bakhil dan pengecut.”

Dan di sisi Allah terdapat pahala agung bagi orang yang lebih mendahulukan ketaatan kepada Allah dan dia tidak tenggelam di dalam kemaksiatan disebabkan kecintaan terhadap anak dan harta. Ini adalah anjuran untuk bersikap zuhud di dunia dan lebih mementingkan akhirat. Ahmad, Tirmidzi, Hakim, dan Thabrani meriwayatkan dari Ka’b bin Iyadh, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَإِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِيْ الْمَالُ

“Sesungguhnya masing-masing umat memiliki fitnah, dan sesungguhnya fitnah umatku adalah harta.”

Cara menghindarkan diri dari fitnah

Yaitu dengan ketakwaan dan ketaatan. Maka Allah SWT memerintahkan ketakwaan; yaitu komitmen untuk menunaikan perintah dan menjauhi larangan sesuai kadar kemampuan dan usaha. Allah juga menyuruh untuk mendengarkan perintah dan menaatinya, serta menginfakkan sebagian harta yang dikarunakan Allah kepada hamba pada jalur-jalur kebaikan. Firman Allah, “yang baik untuk dirimu,” manshub karena menjadi obyek firman Allah, “Dan infakkanlah.” Al-khair(kebaikan) di sini maksudnya adalah harta. Atau, ia adalah na’tun (sifat) untuk mashdaryang terhapus. Penjelasannya: infakkanlah dengan infak yang baik. Dan di dalam infak terdapat kebaikan bagi jiwa di dunia dan di akhirat.

Barangsiapa dilindungi dan dijaga oleh Allah dari penyakit kikir (sifat bakhil disertai ketamakan), sehingga ia berinfak di jalan Allah dan jalur-jalur kebaikan, maka merekalah orang-orang yang beruntung dengan mendapatkan segala apa yang mereka inginkan (di surga). Bukhari di dalam kitab Tarikh-nya dan Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah r. a. bahwasanya Nabi saw. bersabda,

شَرُّ مَا فِي رَجُلٍ: شُحٌّ هَالِعٌ، وَجُبْنٌ خَالِعٌ

“Seburuk-buruk apa yang ada pada diri seseorang: sifat kikir yang menggelisahkan dan sifat pengecut yang menelanjangi.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ketika ayat berikut turun, “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imraan: 102) terasa berat bagi orang-orang untuk mengamalkannya, mereka berdiri (untuk menunaikan shalat) hingga tumit mereka menjadi pegal dan kening mereka terluka. Lalu Allah menurunkan ayat sebagai keringanan bagi kaum muslimin, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”

Di dalam Ash-Shahihaini disebutkan sebuah hadits dari Abu Hurairah r. a. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ

“Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka tunaikanlah perintah itu sebatas kemampuan kalian, sedangkan apa yang aku larang dari kalian maka jauhilah.”

Kemudian Allah menegaskan perintah untuk berinfak dengan firman-Nya yang maknanya: Jika kalian bersedekah berupa sedekah yang baik dengan ikhlas dan kerelaan hati, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya untuk kalian dengan kelipatan yang banyak, Allah juga akan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah memberi balasan yang banyak atas perbuatan yang sedikit. Mahasempurna kesyukuran-Nya, artinya Dia membalas ketaatan yang sedikit dengan pahala yang banyak, dan Mahaluas kebijaksanaan-Nya, di mana Dia tidak menyegerakan hukuman atas kemaksiatan.

Firman Allah, “Maha Pembalas Jasa,”merupakan pemberitahuan tentang tindakan Allah yang memberi balasan atas sesuatu, dan bahwa Allah meringankan perkara-perkara besar dari siapa saja yang Dia kehendaki.

Kemudian Allah menambahkan anjuran untuk berinfak: bahwasanya Allah Maha menyeluruh pengetahuan-Nya terhadap apa yang tersembunyi dari kalian dan apa yang tampak nyata bagi kalian, Allah Mahaperkasa lagi Maha Menundukkan, Dia memiliki hikmah yang sempurna, Dia meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang shahih.

Bahwasanya peringatan terhadap fitnah harta dan ketergantungan dengannya, kemudian disampaikannya tiga penegasan untuk berinfak secara berturut-turut dengan gaya bahasa yang berbeda-beda, merupakan pelatihan untuk melepaskan jiwa dari penyakit bakhil dan mendorong jiwa agar menyimpan pahala infak pada jalur kebaikan dan kemaslahatan di sisi Allah, yang mana simpanan-simpanan di sisi-Nya tidak menjadi hilang.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’didalam tafsirnya atas ayat 14-18 tersebut, menjelaskan:

1.   Ayat-ayat di atas (QS. At-Taghaabun: 14-15) adalah peringatan dari Allah Ta’ala untuk orang-orang yang beriman agar tidak terpedaya oleh istri dan anak, karena sebagian dari mereka itu adalah musuh. Dan musuh itu (hakikatnya) adalah orang yang menghendaki kejelekan bagi kalian. Tugas kalian adalah bersikap waspada dari orang yang sifatnya seperti ini. Jiwa diciptakan dengan tabiat mencintai istri dan anak. Karena itu Allah Ta’ala memberikan nasihat untuk para hambaNya agar membatasi rasa cintanya yang tunduk pada kemauan istri dan anak itu, karena di dalamnya terdapat larangan syar’i.

Allah Ta’ala juga mendorong para hambaNya agar menunaikan perintah-perintahNya dan agar lebih mengedepankan ridhaNya, dan lebih mengutamakan akhirat daripada dunia yang fana dan akan lenyap ini. Mengingat larangan untuk menuruti kemauan istri dan anak yang bisa membawa dampak buruk dan peringatan dari hal itu mungkin disalahpahami sebagian orang yang memahami harus bersikap kasar terhadap istri dan anak dan menghukum mereka.Allah memerintahkan mereka agar waspada serta memaafkan mereka, karena dalam hal ini terdapat berbagai maslahat yang tidak terhitung jumlahnya.

Siapa pun yang menunaikan amalan-amalan yang disukai Allah Ta’ala dan menunaikan amalan-amalan yang disukai oleh sesama serta berguna bagi mereka, maka akan mendapatkan cinta Allah dan cinta hamba-hambaNya.

2.  Allah Ta’ala memerintahkan para hambaNya agar bertakwa padaNya, yaitu dengan menunaikan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Allah Ta’ala membatasi hal itu dengan kadar kemampuan dan kesanggupan. Ayat tersebut (QS. At-Taghaabun: 16) menunjukkan bahwa kewajiban yang tidak mampu dilakukan oleh seorang hamba menjadi gugur. Jika seorang hamba mampu menunaikan sebagian kewajiban dan tidak mampu menunaikan kewajiban lainnya, maka ia cukup menunaikan kewajiban yang mampu dia lakukan, sedangkan kewajiban lainnya yang tidak mampu dilakukan menjadi gugur.

3.   Allah Ta’ala memberi dorongan untuk berinfak (QS. At-Taghaabun: 17) seraya berfirman, “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik.” Pinjaman yang baik adalah semua nafkah yang berasal dari harta halal yang diberikan oleh seseorang karena mengharap bertemu dengan Allah dan mengalokasikannya pada tempatnya. Pahala nafkah adalah sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali dan bahkan sampai berlipat-lipat lagi. Kemudian Allah akan memberi ampunan dosa bagi kalian karena infak dan sedekah, karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu bisa menghapus kesalahan-ke salahan.

Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

PAHALA SEDEKAH

Al-Imam as-Suyuti menyebutkan dalam salah satu kitabnya bahwa pahala shadaqah itu ada 5 macam:

أَنَّ ثَوَابَ الصَّدَقَةِ خَمْسَةُ أَنْوَاعٍ : وَاحِدَةٌ بِعَشْرَةٍ وَهِيَ عَلَى صَحِيْحِ الْجِسْمِ ، وَوَاحِدَةٌ بِتِسْعِيْنَ وَهِيَ عَلَى الْأَعْمَى وَالْمُبْتَلَى ، وَوَاحِدَةٌ بِتِسْعِمِائَةٍ وَهِيَ عَلَى ذِي قَرَابَةٍ مُحْتَاجٍ ، وَوَاحِدَةٌ بِمِائَةِ أَلْفٍ وَهِيَ عَلَى الْأَبَوَيْنِ ، وَوَاحِدَةٌ بِتِسْعِمِائَةِ أَلْفٍ وَهِيَ عَلَى عَالِمٍ أَوْ فَقِيْهٍ اهـ
(كتاب بغية المسترشدين)

"Sesungguhnya pahala bersedekah itu ada lima kategori :

1) Satu dibalas sepuluh (1:10) yaitu bersedekah kepada orang yang sehat jasmani.

2) Satu dibalas sembilan puluh (1:90) yaitu bersedekah terhadap orang buta, orang cacat atau tertimpa musibah, termasuk anak yatim dan piatu.

3) Satu dibalas sembilan ratus (1:900) yaitu bersedekah kepada kerabat yang sangat membutuhkan.

4) Satu dibalas seratus ribu (1: 100.000) yaitu sedekah kepada kedua orangtua.

5) Satu dibalas sembilan ratus ribu (1 : 900.000) yaitu bersedekah kepada orang yg alim atau ahli fiqih.

[Kitab Bughyatul Musytarsyidin].

Anak-Anak adalah nikmat dari Allah Ta’ala dan pemberian dari-Nya

Anak-Anak adalah nikmat dari Allah Ta’ala dan pemberian dari-Nya

Oleh asy-Syaikh Abdussalam bin Abdullah as-Sulaimani

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (asy-Syura: 49-50)



Anak-anak adalah perhiasan dunia sekaligus fitnah dunia

1. Anak-anak sebagai perhiasan dunia sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Di dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita dan anak-anak.” (Ali ‘Imran: 14)

2. Anak-anak sebagai fitnah dunia sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at-Taghabun: 15)

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami. Tiba-tiba datang Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma yang keduanya sedang memakai gamis berwarna merah dan keduanya terjatuh. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbarnya dan menggendong keduanya, lalu meletakkan keduanya di hadapannya. Lalu beliau berkata: “Maha benar Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika berfirman: ‘Sesungguhnya harta-harta dan anak-anak kalian adalah fitnah (ujian)’. Aku melihat dua anak kecil ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak bersabar, sehingga aku memutus khutbahku dan menggendong keduanya.” Kemudian beliau melanjutkan khutbahnya. (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan, Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’)

3. Sungguh anak-anak bisa menyibukkan (melalaikan) orangtuanya dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (al-Munaafiquun: 9)

Dan Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka;” (at-Taghaabun: 14)

Demikian pula tentang anak, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ

“Sesungguhnya anak bisa menyebabkan bakhil (kekikiran) dan pengecut (ketakutan).” (HR. lbnu Majah no. 3666, Al-Hakim dalam Mustadrak, 3/179, Al-Baihaqi, 10/202, Ibnu Abi Syaibah 6/378, Ath-Thabarani, 3/32, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’)

Anak bisa menyebabkan bakhil manakala orangtuanya menahan (tidak mau) shadaqah karena lebih menyegerakan untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil. Sedangkan anak bisa menyebabkan pengecut manakala orangtuanya takut berjihad karena takut mati.

Permohonan doa para nabi dan orang-orang shalih demi meminta keturunan

Inilah doa nabi Zakariya Alaihissalam,

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Di sanalah Zakaria mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Wahai Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Ali Imran: 38)

Dan inilah doanya orang-orang shalih,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata: “Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqaan: 74)

[Dinukil dari Kitab Tarbiyatul Aulad fii Dhaui al-Kitabi wa as-Sunnati, Penulis Abdussalam bin Abdullah as-Sulaimani, Taqdim Syaikh Shalih Fauzan, hal. 11-14]

ANGKA 212

Copas

*ANGKA 212*

_Oleh KH. Anang Rikza Mashadi, MA_

Saya mencoba melakukan penelaahan pada ayat Al Qur’an mengenai angka 212. Maasyaa Allah, saya benar-benar ta’jub dengan arti dari ayat-ayatnya.

#212
QS : 2 : 12

Saya lakukan kepada Al Qur’an Al Hadi keluaran Pusat Kajian Hadis. Kurang lebih begini yang saya dapat:

#212
QS : 2 : 12

أَلَآ إِنَّهُمْ هُمُ ٱلْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشْعُرُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”

#212
Saya lanjutkan lagi dengan QS. 21:2

مَا يَأْتِيهِم مِّن ذِكْرٍ مِّن رَّبِّهِم مُّحْدَثٍ إِلَّا ٱسْتَمَعُوهُ وَهُمْ يَلْعَبُونَ

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main”

Makin terkejut saya dengan arti ayat tersebut. Penasaran berlanjut, ada dua surat dalam Al Qur’an yang mempunyai ayat 212.

QS. 2 : 212

زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ۘ وَٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ فَوْقَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۗ وَٱللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Lalu surat berikutnya ayat 212.

QS. 26 : 212

إِنَّهُمْ عَنِ ٱلسَّمْعِ لَمَعْزُولُونَ

“Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al Quran itu.”

Kalau dikaji dari ayat-ayat sebelum dan setelahnya (QS.26) malah makin mendekatkan dengan kondisi saat ini.

Kebetulankah? Wallahu a’lam. Yang jelas, makar Allah jelas lebih besar serta lebih hebat daripada makar manusia. Kita cuma diminta beribadah dan berusaha untuk menunjukkan disisi mana kita berada. ( DI/FT/am )

Candoel Al Ghozali